Sabtu, 23 Maret 2013

Gus Dur, PKB dan Demokrasi



Semua pengamat politik, penggiat demokrasi, aktifis sosial dan masyarakat umum di Indonesia semua sepakat bahwa Gus Dur adalah salah satu sosok bapak dan guru bangsa yang sangat demokrat, selalu membela kepentingan orang atau kelompok yang diperlakukan dengan tidak adil dan selalu jujur serta berani terus konsisten terhadap sikap-sikapnya ini. Sejak zaman orde baru sampai dengan sekarang, Gus Dur masih merupakan salah satu dari beberapa gelintir tokoh yang sikapnya sama sekali tidak mengalami deviasi yang diakibatkan oleh euphoria kebebasan masa reformasi dan berbagai kemudahan termasuk iming-iming berbagai fasilitas, uang dan kekuasaan bagi siapapun yang mau berkolaborasi dengan anasir jahat orde baru yang sampai saat ini masih berkuasa di Indonesia.
Tetapi saat ini, dinamika internal partai politik yang dikomandani oleh beliau (Gus Dur) mengalami berbagai proses politik maka hampir semua pengamat, tokoh politik, pengggiat demokrasi menjadi gamang dalam menilai sosok Gus Dur dan perannya di sana. Bisa dikatakan hampir semua tokoh tersebut yang tadinya begitu gigih berada di barisan depan dalam memberikan pendapat dan penilaian mengenai langkah Gus Dur menjadi ragu-ragu dan bahkan cenderung menghakimi Gus Dur sebagai tokoh yang tidak demokrat, tirani otoriter dan pengatur jalannya oganisasi partai sesuai dengan keinginan pribadi Gus Dur sendiri, istilah Jawa-nya “se-enak udele dhewek”.
Saya ingin sampaikan bahwa mereka para pengamat, tokoh-tokoh NU dan berbagai orang yang memberikan penilaian mengenai langkah Gus Dur itu sama sekali tidak benar. Mereka menilai dinamika politik yang ada di PKB dengan ukuran nilai standard konstitusi dan nilai demokrasi yang ada diluar PKB, bukan menggunakan nilai demokrasi dan konstitusi standard PKB itu sendiri. Hampir semua dari pengamat itu memberikan penilaian hanya berdasarkan asumsi-asumsi dan bukan melihat nilai yuridis dan konstitusi internal PKB yang menyebabkan Gus Dur melakukan langkah-langkah untuk menyelamatkan roda organisai PKB secara konstitusi di dalam PKB.
Tanpa membaca AD/ART dan aturan serta yuridis formal yang ada di PKB mereka memberikan penilaian sehingga hasil dari penilaian tersebut menjadi cenderung melenceng dan sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai pijakan obyektif dari perubahan sikap seorang Gus Dur. Hampir semua tulisan tersebut akhirnya menyimpulkan sesuatu hal yang sesat karena berasal dari sesuatu asumsi yang tidak berdasar konstitusi partai dan akhirnya menyesatkan opini publik bagi sebagian masyarakat yang tidak hati-hati dalam memahami sebuah pengamatan seorang pengamat politik.
Kalau boleh saya memberikan gambaran yang lain untuk mempermudah kita memahami langkah Gus Dur dalam dinamika politik di dalam PKB, maka saya akan menganggap bahwa PKB itu seperti sebuah “Negara” dengan konstitusi dan nilai histories serta yuridis tersendiri untuk mengawal proses demokrasi di dalam internal negara-nya dan tentunya berbeda dengan “Negara” PDIP, PPP, Golkar maupun PKS walaupun semuanya mengacu kepada nilai universal dari konstitusi yang ada di Indonesia.
Kita tidak bisa sebut Amerika tidak demokrasi karena pemilihan presidennya tidak secara langsung rakyatnya yang memilih, kita tidak bisa sebut Rusia dan Timor-Timur sebagai negara tidak demokratis karena pemimpin negaranya bisa bertukar posisi antara presiden dan perdana menterinya. Kita juga tidak bisa menyebut Inggris tidak demokrasi karena ratunya menjabat sebagai pemimpin negara sampai mati. Dengan demikian, ukuran demokrasi yang ada dalam negara tidak bisa dinilai oleh ukuran demokrasi negara lain, bahkan badan dunia seperti PBB juga tidak bisa menilai dengan ukuran mereka. Yang bisa menilai bahwa Amerika, Rusia, Inggris, China dan berbagai negara lain bahwa negaranya demokrasi atau tidak adalah rakyatnya sendiri. Jadi selama rakyat masing-masing negara tersebut sepakat dengan konstitusi yang ada dalam negara tersebut dan tidak ada satu pihak manapun yang melakukan kriminalisasi untuk memaksakan sesuatu nilai demokrasi terhadap pihak yang lain, maka bisa dikatakan negara tersebut adalah negara demokrasi sesuai dengan konstitusi dan nilai yang ada di negara tersebut dan tentunya tidak menyimpang dari nilai-nilai universal.
Dari penggambaran tersebut, maka kita bisa kembali menilai dinamika politik yang ada di PKB dengan hati yang lebih jernih dan terbuka, dimana semuanya harus menilai dengan ukuran nilai histories, yuridis dan konstitusi yang ada di PKB, bukan dengan ukuran dan kacamata yang ada pada diri masing-masing pengamat politik atau bahkan dengan nilai dan ukuran partai lain. Mari kita buka AD/ART partai, pelajari sejarah dan nilai yurisdiksi yang ada dalam PKB, kemudian kita cek rangkaian dinamika politik yang ada dalam PKB, lalu kita bisa simpulkan apakah sosok Gus Dur sudah mengalami deviasi dari seorang demokrat menjadi tirani yang otoriter dalam PKB? Mari kita cek bersama.
Dinamika politik yang ada di PKB dimulai dari pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai personal dan kelompok baik di cabang, wilayah maupun pusat dan bisa saya sampaikan itu selalu saja ada di partai manapun, dimana kepentingan pribadi dan kelompoknya sering menyesatkan kader partai untuk melakukan penyimpangan dari garis perjuangan partai yang telah disepakati, dari sana maka mulailah dewan syuro DPP PKB dibawah kepemimpinan Gus Dur melakukan investigasi dan penyelidikan serta adanya tahapan-tahapan rapat untuk melakukan konfirmasi dan memberikan hak bagi yang dijadikan tersangka untuk melakukan pembelaan. Dari sini saja jelas bahwa PKB dan Dewan Syuro telah melakukan proses demokrasi dimana segala keputusan diputuskan melalui tingkatan proses yang demokratis mulai dari penyelidikan, persidangan dan pembelaan bukan hanya keputusan sepihak tanpa adanya tahapan serta dasar konstitusi dari sebuah keputusan tersebut.
Dewan Syuro sebagai pemegang amanah tertinggi harus mengawal nilai konstitusi yang ada di PKB dengan tanpa kompromi dan pandang bulu, kalau di partai lain mungkin masih banyak keputusan partai yang mengedepankan kompromi maka tidak dengan PKB, PKB jelas nilai kontitusinya yaitu jujur dan membela yang benar sehingga keputusan tegas dan berani itu harus dilaksanakan apapun risiko politik yang akan terjadi itu harus dilaksanakan. Akhirnya terjadilah pemecatan kader dan pembekuan berbagai pengurus yang tentu saja diawali proses demokrasi dalam internal PKB. Ini hanya ujung saja, bukan akhir dari proses panjang yang dijalani untuk mencapai hasil.
Sampai saat ini sebenarnya ketua umum dewan tanfidz PKB Muhaimin Iskandar masih ikut berperan dan sangat sadar mengenai nilai konstitusi yang ada di PKB ini. Dinamika partai terus berjalan dan tampaknya internal partai akhirnya melihat bahwa sang ketua umum dewan tanfidznya melakukan kesalahan-kesalahan sehingga akhirnya dewan syuro sebagai pengemban amanat tertinggi di dalam partai harus melakukan koreksi terhadap langkah dari dewan tanfidz maka mulailah ada proses penyelidikan, teguran dan surat peringatan kemudian pada akhirnya ada keputusan konstitusi dalam PKB untuk meminta ketua Dewan tanfidz untuk mundur.
Ini harusnya juga dihormati oleh ketua umum dewan tanfidz karena dalam PKB setiap pengurus adalah sama di depan konstitusi PKB dan jabatan adalah amanat bukan warisan yang harus terus dipertahankan. Tetapi tampaknya Cak Imin khilaf sehingga melakukan perlawanan konstitusi dan nilai demokrasi yang ada di PKB dengan cara mengakali konstitusi yang ada di PKB, dimana dia menyelenggarakan MLB tandingan dan merekrut para desertir kader partai. Menurut saya, perlawanan tersebut akan sia-sia saja dan bahkan akan menambah nilai buruk dari para desertir partai ini karena tidak mau menerima konstitusi yang dia ikut merumuskan, apa kata dunia kalau dia yang merumuskan dia juga yang mengkhianati?. Jadi dari sini jelas terlihat bukan siapa demokrat dan siapa otoriter…? Kalau PKB sebuah “negara” betulan, pasti desertir PKB ini akan dihukum berat tetapi beruntunglah PKB hanya partai politik sehingga desertir PKB ini hanya dipersilakan untuk mencari partai lain yang nilai demokrasinya sesuai dengan yang mereka harapkan.
Jadi dari jabaran di atas jelas terlihat dan kalau bahasa Jawa-nya “cetho welo-welo” bahwa Gus Dur masih seorang demokrat sejati dan tidak ada kompromi untuk sebuah kebenaran. Hampir semua yang dipecat dalam PKB adalah kader terbaik yang pernah ada di PKB dan juga didikan keras dan lama oleh Gus Dur tetapi sekali lagi aturan dan konstitusi partai harus ditegakkan tanpa pandang bulu sehingga resiko dan cost apapun akan beliau tempuh.
Dari sini sudah jelas bukan apa yang ada dalam dinamika politik di PKB? Dengan kata lain, kalau mau berfikir jernih tidak repot bukan untuk mengetahui apa yang sebenarnya tejadi dalam PKB? Untuk sebuah kebenaran tidak pernah ada kompromi PKB “selalu” maju tak gentar membela yang benar.

Mengapa kita memilih PKB



Jutaan rakyat Indonesia memilih PKB sebagai pilihan aspirasinya. PKB dilahirkan sebagai partai nasionalis – religius yang inklusif dan terbuka untuk siapapun. Namun, sebagai partai yang lahir dari “rahim” PBNU dan dideklarasikan oleh tokoh2 NU terkemuka, tentu kebanyakan dari pendukung partai ini adalah Nahdliyyin, yang tersebar di bumi ini.
Ada baiknya kita perlu menengok apa alasan mereka memilih PKB sebagai tautan hatinya. Berikut ini beberapa alasan dari mereka :
1.    Rulan Kis Riarto (Entrepreneur – Depok) :
“Saya dulu kader PKS, tapi setelah belajar agama lebih luas akhirnya saya keluar. Saya sekarang simpatisan PKB karena ideologinya yang nasionalis religius dan karena saya pengagum Gus Dur”
2.    M. Jumadi (Profesional IT – Bekasi) :
“karena saya keturunan NU … dan berharap bisa bantu PKB untuk membesarkan dan melanggengkan PKB”
3.    Luthfi N. Ikhvan (Karyawan – Surabaya) :
“Alasanku cuma 1 : karena Gus Dur …”
4.    Achmad Ubaidillah (Mahasiswa S2 ITB asal Madura – Bandung) :
“karena PKB, adalah parpolnya orang nahdliyyin yang “resmi” (mngkin karena gus dur . hehehehe), maka aku dan keluargaku menjadi bagian dari parpol ini.”
5.    Ahmad Mukhlason (Karyawan dan Mahasiswa S2 Universiti Teknologi Petronas Malaysia) :
“Aq dukung PKB ya .. karena panggilan NURANI. Saya punya harapan besar pada partai ini… sebagai wadah aspirasi kaum Nahdliyin. Biar dak selamanya jadi orang pinggiran mulu.
Bagaimana dengan Anda?

MEMBACA SEJARAH NUSANTARA



Membaca Sejarah Nusantara

Judul buku  : Membaca Sejarah Nusantara
Penulis          : Abdurrahman Wahid
Pengantar    : KH A Mustofa Bisri
Penerbit       : LKIS, Yogyakarta
Cetakan        : Pertama, 2011
Tebal buku : 133 halaman
Peresensi    : Danuji Ahmad
Diskursus sejarah Nusantara memang mengasyikkan. Kehadirannya terbuka untuk kita telaah dan diperbincangkan dengan ragam tafsir dan versi. Ragam tafsir itu tentu tidak sekonyong-konyong hadir begitu saja. Menurut para pakar sejarah, ragam tafsir itu hadir terkait dengan berkembangnya kebudayaan lisan di antara masyarakat pribumi prasejarah. “Kebudayaan lisan yang lebih merakyat daripada bahasa tulis itu,” kata para pakar, “sangat memengaruhi proses penyampaian sejarah dari generasi ke generasi.”
Itu karena sumber penyebarannya dari lisan ke lisan sudah pasti akan terjadi banyak kerancuan versi di dalam penyebarannya. Berawal dari sinilah, sumber sejarah Nusantara mengalami titik perbincangan dan perdebatan yang sangat serius di antara para sejarawan. Salah satu sejarawan yang meramaikan perdebatan dan tafsir itu tidak lain adalah Abdurrahman Wahid atau yang akrab di sapa Gus Dur. Bagi sebagian orang, Gus Dur mungkin tidak terkenal dengan predikat sejarawan, tetapi lebih akrab di mata masyarakat sebagai agamawan, budayawan, atau bahkan cendekiawan yang mengibarkan spirit pluralisme, pribumisasi Islam, bahkan sosok guru bangsa yang getol memperjuangkan hak asasi manusia.
Hadirnya buku yang berjudul Membaca Sejarah Nusantara25 Kolom Sejarah Gus Dur, predikat sejarawan tampaknya tidak terlalu berlebihan jika kita sematkan kepada beliau, selain predikat-predikat lain seperti agamawan, budayawan rohaniawan, cendekiawan, serta lainnya. Gus Dur memang sosok yang multitalenta, unik, cerdik, serta berpola pikir divergen (berpikir keluar dari konvensional) ketika membicarakan sesuatu, entah itu masalah agama, politik, serta sejarah. Inilah ciri khas pemikiran Gus Dur yang oleh sebagian orang dianggap nyeleneh itu.
Oleh sebab itu, buku setebal 133 halam ini cukup menarik untuk kita baca dan telaah, utamanya bagi peminat sejarah. Buku karya Gus Dur ini merupakan acuan yang pas untuk memperkaya perspektif, data, dan pola penulisan sejarah yang unik, hidup, lincah, dan merakyat. Gus Dur selalu menekankan adanya pengolahan baru di dalam penulisan sejarah yang berorientasi untuk memberikan paradigma baru, angin segar di setiap tafsirnya ihwal sejarah Nusantara. Sebab, bagi Gus Dur, sejarah bukanlah sebuah serial yang mati dan stagnan dari sebuah perspektif. Oleh karenanya, gagasannya tentang sejarah selalu dibuatnya baru.
Contoh dari sekian kecerdasan Gus Dur di dalam mengolah sejarah bisa kita simak ketika Gus Dur mengaitkan asal-usul LSM dengan cerita rakyat. Cerita itu diawali dari pertempuran antara Sultan Hadiwijaya atau yang terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir dan menantunya Sutawijya. Peperangan yang pada akhirnya dimenangi Sutawijaya itu membuat Hadiwijaya kembali ke Asta Tinggi, Sumenep, Madura, tempat di mana ia dilahirkan untuk mencari kesaktian.
Akhirnya, setelah Hadiwijaya mendapatkan kanuragan, dia pun siap bertempur kembali untuk merebutkan Pajang dari tangan menantunya, Sutawijaya. Akan tetapi, ketika Hadiwijaya istirahat di Pulau Priggobayan atau kalau sekarang terlentak di Kabupaten Lamongan, Hadiwijaya tertidur lalu bermimpi dengan sang guru. Dalam Mimpi itu kemudian sang guru menyarankan agar Hadiwijaya tidak melanjutkan perjalanannya ke Pajang untuk bertempur dengan Sutawijaya. “Jika itu kamu lakukan,” ujar guru Hadiwijaya dalam mimpi, “kamu hanya akan menjadi budak kekuasaan.” Singkat cerita, akhirnya Hadiwijaya mengurungkan niat ke Pajang, lalu mendirikan kekuatan baru di Pringgobayan, Lamongan, di luar kekuasaan Pajang. (hlm 5-7)
Menurut perspektif Gus Dur, cerita Hadiwijaya tidak jadi perang dengan Sutawijaya untuk merebutkan Pajang, dengan mendirikan kerajaan baru di Pringgobayan, Lamongan, itu merupakan benih-benih asal-usul tradisi LSM di negera kita. Artinya, LSM seharusnya keluar dari lingkar kekuasaan dengan mengembangkan jati dirinya sendiri, mendidik masyarakat, dan mengontrol kekusaan yang cenderung arogan. Di sinalah kelebihan tulisan-tulisan sejarah Gus Dur. Pembaca akan disuguhi cerita-cerita rakyat, kemudian diolah dengan sesuatu yang baru seperti dikontekskan dengan kondisi sekarang, diramu dengan bahasa yang jenaka dan lugas.
Gus Dur dengan gaya kepenulisannya juga berani keluar dari mainstream kepenulisan sejarah pada umumnya. Menafsirkan sejarah dengan gayanya sendiri, memilih dan memilah data-data referensi dari berbagai sumber yang tepercaya, termasuk dari cerita rakyat. Sejarah Nusantara mampu dibaca Gus Dur dengan kritis dan selalu menekankan adanya reinterpretasi baru dengan menyelipkan nilai-nilai humanisme. Kritik di dalam karya-karyanya merupakan kelebihan tersendiri dari sosok Gus Dur.
Tulisan-tulisan Gus Dur memang lebih bersifak kualitatif daripada kuantitatif, dalam artian data-data seperti tahun-tahun tidak begitu terlihat di sana-sini dalam tulisan-tulisan Gus Dur. Di sinilah mungkin kelebihan dari kepenulisan sejarah versi Gus Dur. Pembaca tidak dijenuhkan dengan menghafal tahun-tahun, tetapi lebih diajak untuk bersikap kritis, bahkan pembaca sering dibuat bertanya-tanya untuk memberikan tafsir sendiri dari sebuah peristiwa.
Oleh sebab itu, hadirnya buku ini patut kita apresiasi dan kita jadikan karya nyata, spirit, serta kobar untuk selalu membuat inovasi-inavasi baru untuk kemajuan bangsa seutuhnya dan seluruhnya.

MENGHORMATI SANG GURU



Islah PKB Pasca Gus Dur
Oleh : Muhammadun A.S.*

Pasca wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), nafas islah (rekonsilisasi) menghembus kencang di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Disamping kedua kubu yang bertikai selama ini, Cak Imin dan Yeni Wahid, saling beri’tikad baik untuk menjaga keutuhan PKB, KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dan KH Muchith Muzadi (Mbah Muchith) juga memberikan dorongan kuat agar partai berlambang dunia bertali jagat ini semakin solid untuk menyongsong perjuangan di masa depan yang lebih kokoh. Gus Mus dan Mbah Muchith merupakan dua dari lima deklarator PKB yang masih hidup sekarang. Sedangkan ketiga deklarator lain sudah meninggal, yakni KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruhiyat, dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Bahkan kedua deklarator tersisa tersebut telah membuat surat untuk PKB pada 4 Januari 2010 yang ditulis Gus Mus dalam bahasa Arab pegon (bahasa Jawa-Indonesia dalam huruf Arab). Isi surat itu adalah mengingatkan kembali warga Nahdliyyin akan nasehat KH Hasyim Asy’ari yang selalu menekankan persatuan dan kekompakan. Persatuan yang selalu digelorakan Mbah Hasyim harus selalu dipegang warga Nahdliyyin dan warga PKB, jangan sampai terjerembab dalam kubangan konflik yang merusak dan menghancurkan. Karena itulah, kedua ulama’ ini mengharapkan adanya islah (rekonsiliasi) dengan mengesampingkan ambisi dan kepentingan kelompok yang sesaat.
Semangat islah yang ditiupkan dua deklarator PKB yang masih hidup ini menjadi monument penting bagi fungsionaris PKB dalam menata kembali partai yang sempat tercabik-cabik dari beragam konflik yang terus menerpa tak kunjung henti. Terlepas dari sifat kontroversial yang melekat dalam dirinya, Gus Dur pastilah bukan menginginkan lahirnya konflik yang justru membuat PKB semakin keropos dan kerdil. Gus Dur sebagai motor utama penggerak PKB berijtihad untuk menciptakan kader-kader muda militan yang kelak ketika beliau wafat seperti sekarang, PKB bisa dilanjutkan oleh generasi ideologisnya dalam memperjuangkan visi-misi PKB yang telah dirumuskan para pendiri.
Terbukti, jasa Gus Dur dalam membina politisi muda berkarakter telah melahirkan beragam bentuk anak muda PKB yang kritis dan progresif dalam menggerakkan roda partai. Di tengah berbagai terpaan konflik saja, anak muda ini tetap mampu membawa PKB dalam gerak politik yang penuh telikungan. Ini bukti bahwa pasca wafatnya Gus Dur, kader-kader PKB justru menemukan harapan besar untuk merealisasikan ide-ide besar Gus
Dur dalam memperjuangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia . Kader-kader muda PKB bisa menjadi lokomotif gerakan politik yang secara radikal melakukan perubahan besar bagi Indonesia di masa depan. Barangkali inilah tanggungjawab besar Gus Mus dan Mbah Muchid beserja jajaran DPP PKB untuk memberdayakan potensi besar anak muda didikan Gus Dur menjadi kader PKB masa depan. Gus Mus dan Mbah Muchith harus mempunyai andil besar dalam menggerakkan kembali kesolidan PKB dalam menatap masa depan. Makanya tepat sekali, surat islah yang ditandatangani keduanya merupakan bentuk tanggungjawab besar dalam menjaga keutuhan PKB. Kedua ulama’ khamismatik ini mempunyai kekuatan yang lumayan besar dihadapan kedua kubu yang bertikai, sehingga memungkinkan keduanya bisa melakukan gerak rekonsilisasi lebih cepat, sehingga konflik yang berlarut tidak mengorbankan konstituen PKB.
Pasca wafatnya Gus Dur, posisi politik kubu Cak Imin memang berada lebih unggul dibanding kubu Yeni Wahid. Selain Cak Imin merapat dengan kekuasaan, kader Cak Imin juga telah menguasai berbagai DPW PKB di berbagai wilayah di Indonesia . PKB versi Cak Imin masih bermesraan dengan kekuasaan, sehingga mendapatkan berbagai kemudahan lobi politik dalam menggerakan roda partai di berbagai daerah. Sementara versi Yeni Wahid yang bertolak dengan patron Gus Dur, posisi politiknya jelas melemah. Walaupun demikian, Yeni Wahid mengkantongi basis konstituen yang tidak sedikit, yakni mereka yang sudah “cinta mati” demi Gus Dur.
Para pecinta Gus Dur ini melihat PKB Gus Dur sebagai thoriqoh politik yang sulit tergantikan, tak lain karena memantapkan seluruh gerak jiwanya terhadap Gus Dur. Cinta mereka atas PKB Gus Dur bukan sekedar pilihan politik, tetapi sudah merambah pilihan teologis. Mereka memang tipologi konstutuen kaum tradisional yang menganggap Gus Dur bukanlah sekedar guru politik, tetapi sebagai “wali” politik yang total mereka ikuti seutuhnya. Kelebihan posisi konstituen Yeni Wahid inilah yang tidak dimiliki kubu Cak Imin.
Terpangkal dari plus-minus kedua kubu inilah, islah (rekonsilisasi) bagi PKB menjadi sangat krusial. Kalau kedua kubu masih berpijak pada kepentingan masing-masing, maka masa depan PKB akan semakin suram di masa depan. Partai kaum nahdliyyin bisa semakin terhempas dalam percaturan politik nasional, karena konflik elite PKB selalu melebar menjadi konflik horizontal para konstituen di lapisan paling bawah.
Lebih tragis lagi, konflik PKB juga membuat chaos yang merontokkan ikatan persaudaraan antar warga nahdliyyin. Resiko politik inilah yang harus disadari masing-masing kubu. Tetapi, melihat komitmen Gus Mus dan Mbah Muchith untuk merangkul kedua kubu, islah PKB bukanlah ide kosong. Islah PKB semakin mendekati nyata, sehingga elite PKB harus segera menyiapkan gerak bersama menyongsong gerakan politik yang lebih elegan di masa depan.
Islah PKB pasca Gus Dur ini harus memantapkan kembali “trisula” PKB, agar PKB semakin solid dan bermutu. Trisula tersebut adalah mensinergikan tiga hal penting, yakni kohesifitas kultur, kualitas program, dan kualitas kepemimpinan partai. Kultur PKB yang berbasis nahdliyyin tidaklah menghalangi untuk membuat program partai yang visioner dan mampu mengoptimalkan basis potensi konstituen dan kadernya. Menggerakkan kultur dan program ini jelas harus dikomandoni pemimpin partai yang bisa mengakomodasi elit partai, sehingga sang pemimpin mampu membangun managemen yang professional dalam tubuh PKB, termasuk mampu menjaga keutuhan partai kalau terjadi lagi badai konflik. Pengalaman masa lalu menjadi modal penting PKB untuk tegak berdiri di masa depan.

Laman